Sabtu

SEJARAH KOTA QU..

Letak nanggroe (kampung/kota) yang satu ini berdasarkan peta persis di tengah-tengah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Secara nyata, ia terletak di atas ketinggian 1200 meter dari permukaan laut. Tak ayal lagi, kota ini disebut juga dengan daerah pegunungan dengan hawa dingin hutan leuser yang menusuk tulang sum-sum saat berada di sana.

            Takengon, demikian nama kota yang sejak dikeluarkannya undang-undang otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam itu menjadi dua kabupaten—Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Kendati sudah menjadi dua bagian tingkat dua di provinsi Aceh, masyarakat umumnya tetap lebih mengenal nama Takengon untuk wilayah kekuasaan Reje Linge itu.

            Hawa sejuk pegunungan yang dihembuskan dari hutan leuser menjadikan daerah ini dikenal juga dengan tempat tersejuk di Aceh. Di samping terkenal dengan hawa sejuk pegunungannya, di kota ini juga banyak tersimpan cerita yang dijadikan sejarah dalam kehidupan masyarakat, seperti cerita Putri Ijo, Reje Linge, Malem Diwa, dan Sejarah Laut Tawar yang masyarakat di sana menyebutnya dengan Asal Mule Lut Tawar. Cerita-cerita tersebut telah melahirkan objek wisata alam yang sangat dikenal masyarakat Aceh dan Indonesia pada ummnya. Laut Tawar, Gua Pukes, Pacuan Kuda, merupakan salah satu dari sekian tempat wisata yang dikenal, di samping tempat-tempat wisata kecil lainnya semisal Air Panas di Simpang Balek dan Air Dingin di Wih Ni Kulus. Di sana terdapat juga objek wisata Kebun Binatang, yang kecil kemungkinan bisa ditemukan di daerah lain di Aceh. Hal ini membuktikan masyarakat di sana mencintai kedamaian, termasuk bersama hewan.

            Untuk objek wisata pacuan kuda, biasanya diselenggarakan setiap 17 Agustus, sebagai perayaan Hari Kemerdekaan RI. Kuda-kuda yang dipertandingkan dalam pacuan adalah kuda asli Gayo. Sebenarnya, kuda-kuda tersebut digunakan untuk membajak sawah. Namun, tidak tertutup kemungkinan, hewan tunggangan tersebut digunakan pula untuk hiburan semisal pacuan. Anehnya, joki-joki yang menunggangi kuda dalam pacuan tersebut masih sangat belia. Usia mereka rata-rata tidak lebih dari 25 tahun. Mereka menunggani kudanya serupa koboy dalam film-film laga. Hanya saja, “koboy Takengon” menunggani kudanya tidak memakai kelana sebagaimana kuda tunggangan umumnya. Hal ini menjadi kebanggaan masyarakat Aceh Tengah yang menyatakan bahwa mereka memiliki penuggang kuda yang lebih berani dari koboy negara Barat.

            “Jangan tanyakan berapa bayaran joki yang diperoleh dari pemiliki kuda. Mereka dibayar seikhlasnya. Itu pun kalau dikasih, kalau tidak juga tak apa,” kata Zahrupan Daman, pemilik pacuan kuda sekaligus Wakil Ketua Ikatan Penggemar Pecinta Kuda Pacu (IKPPKP) Aceh Tengah, seperti dilanssir situs Pemda Aceh Tengah.

            Wilayah ini juga terkenal dengan keseniannya. Di antaranya ada didong, sebuku, pepongoten, melengkan, menunes, dan syair. Semua kesenian ini dilagukan atau disyairkan dengan bahasa Gayo. Namun, tidak tertutup kemungkinan dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain. Aceh Tengah juga dikenal dengan tarian tareng-tareng kopeng yang biasa dilantunkan untuk pengantin baru.

Hasil Alam

            Sebagai sebuah daerah pegunungan yang memiliki keindahan dan kelebatan hutan, masyarakat Takengon bermata pencaharian dari sektor perkebunan, di samping juga ada yang bekerja sebagai nelayan—penduduk di tepi danau Laut Tawar.

            Dari segi perkebunan, daerah ini sangat terkenal dengan kopi Gayonya. Kopi menjadi komudity kebanggaan masyarakat Aceh Tengah. Jenis kopi Arabica ini tumbuh subur di daerah dingin Gayo dengan ketinggian 1.200 – 1.600 meter di atas permukaan laut. Di samping itu, hasil pertanian/ perkebunan lainnya yang dikenal di daerah ini adalah jeruk keprok dan durian. Hasil hortikultura lainnya disebutkan juga ada kol (kubis), sawi, advokat, asma, marquisa, damar, dan lain-lain.

Sejarah Pengakuan Wilayah Aceh Tengah

            Sejarah mencatat bahwa wilayah Aceh Tengah atau lebih dikenal dengan sebutan Takengon itu dulunya merupakan sebuah wilayah kerajaan. Hal ini terbukti dengan adanya sebuah kerajaan kecil di sana, yaitu Kerajaan Linge. Kerajaan tersebut dibangun pada 416 H/ 1025 M, di Buntul Linge dengan raja pertamanya bernama Adi Genali atau dikenal juga dengan sebutan Klik Betul, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Reje Linge. Adi Genali mepunyai empat orang putra, yaitu Sibayak Linge, Empu Beru, Merah Johan, dan Merah Linge. (situs Pemda Aceh Tengah)

            Sahibul Hikayat mengatakan Reje Linge I mewariskan sebilah pedang berhulu cincin permata kepada keturunannya. Cincin permata itu berasal dari Sultan Peureulak, Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M). Dari sini terbukti wilayah Aceh Tengah atau Wilayah Linge memiliki hubungan dengan kesultanan Pasee dan masa kejayaan Sultan Iskandar Muda.

            Selanjutnya, pada tahun 1904, Belanda yang menjajah Aceh, juga menginjakkan kaki ke wilayah Linge. Melhiat hasil tanam yang berkualitas, Belanda mulai bercocok tanam kopi Arabica, tembakau, dan damar, di Aceh Tengah. Pada masa itu, Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling Nordkus Atjeh dengan ibukotanya Sigli. Sebutan Onder Afdeeling berubah menjadi Gun pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Gun dipimpin oleh Gunco. Setelah RI memproklamirkan kemerdekan pada 17 Agustus 1945, sebutan tersebut berganti lagi menjadi wilayah yang kemudian berubah menjadi kabupaten.

            Kewilayahan Aceh tengah berdiri dengan sah sejak 14 April 1948. Hal ini sesuai dengan undang-undang nomor 10 tahun 1948. Wilayah ini kemudian dikukuhkan menjadi daerah tingkat II (kabupaten) pada tanggal 14 November 1956 melalui undang-undang nomor 7 (drt) tahun 1956. Kala itu kewilayahan Kabupaten Aceh Tengah meliputi tiga kewedanan; Takengon, Gayo Lues, dan Tanah Alas.


Pemekaran Wilayah

            Luasnya wilayah ini yang dikelilingi hutan belantara menjadikan Takengon sulit dijangkau. Hal ini terkendala oleh transportasi. Karena itu, masyarakat di sana sangat mendukung pemekaran wilayah Kabupaten Aceh Tengah menjadi dua wilayah; Aceh Tengah dan Gayo Lues. Pemekaran tersebut dikukuhkan sesuai undang-undang nomor 4 tahun 1974. Kemudian, Kabupaten Aceh Tengah kembali pecah menjadi dua bagian, yakni Aceh Tengah dan Bener Meriah. Hal ini disahkan oleh undang-undang nomor 41 tahun 2003. Kabupaten Aceh Tengah masih tetap beribukotakan Takengon. Kabupaten Bener Meriah beribukotakan Simpang Tiga Redelong.

            Semua itu mengesankan “Kota Dingin” Gayo memiliki sejarah panjang yang berliku. Persoalan wilayah dan pemekaran ternyata sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda. Belum lagi soal tapal batas Bener Meriah dengan wilayah Kabupaten Bireuen yang sampai saat ini masih jadi hal yang dimusyawarahkan.

            Belakangan, perkara pemekaran kembali timbul, yakni wilayah yang dikelilingi hutan Leuser itu hendak dimekarkan menjadi sebuah provinsi. Setelah sejarah mencatat Aceh Tengah terbelah menjadi tiga wilayah, saat ini ketiga wilayah tersebut; Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues, sedang menggalang persatuan hendak menjadikan dirinya sebagai sebuah provinsi. Ketiga wilayah ini terkesan tidak ingin bercerai lagi. Mereka ingin bersatu menjalin kekuatan untuk peningkatan ekonomi masyarakatnya. Kuatnya persatuan ini mungkin yang menjadikan suku Gayo melahirkan sebuah kearifan dalam pepatah “Beluh sara loloten, mowen sara tamunen, bulet lagu umut, tirus lagu gelas, rempak lagu re, mususun lagu belo”. Pepatah ini jika diindonesiakan kira-kira berbunyi, “Persaurdaan, kebersamaan, persatuan, seiya sekata, jangan sampai bercerai-berai.

Dari satu sisi, mereka memang sedang menjalin persatuan. Di sisi lain, mereka sedang berusaha bercerai, yaitu bercerai dari Provinsi Aceh.*tuhoe/majalah JKMA Aceh


Tidak ada komentar:

Posting Komentar